Sejarah Makam JP Mossel di TPU Utoro Loyo Tegalrejo

 

Tegalrejo, Yogyakarta - Tempat Pemakaman Umum (TPU)  Utoro Loyo merupakan makam yang dikelola oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Terletak di kampung Tompeyan, Kelurahan Tegalrejo Kemantren Tegalrejo, TPU Utoro Loyo adalah salah satu TPU yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

Sejak adanya Peraturan Walikota Yogyakarta tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Walikota Kepada Camat tahun 2016, terkait dengan pemeliharaan bangunan, pemberian izin pemakaman dan retribusi pemakaman diserahkan kepada Kemantren Tegalrejo.

Tidak banyak orang yang tahu bahwa di TPU Utoro Loyo tersebut disemayamkan satu sosok pahlawan, yaitu Johanna Petronella Mossel (JP Mossel) alias Johanna Djafar Kartodiredjo, seorang wanita keluarga Belanda keturunan Yahudi. Beliau adalah istri ke dua dari Ernest Douwess Dekker atau Danudirja Setiabudi, salah satu tokoh pergerakan Nasional, penggagas nama Nusantara. Selain itu, beliau bersama dr. Cipto Mangunkusumo dan Suryadi Suryaningrat merupakan tokoh Tiga Serangkai pendiri Indische Partij.

Sejarah Singkat Kehidupan JP Mossel

Johanna Petronella Mossel merupakan putri bungsu dari 4 bersaudara. Lahir di Batavia pada tanggal 3 April 1904. Ayahnya seorang Indo yang memiliki darah keturunan Bali bernama Martinus Theodore Mossel, sementara ibunya juga seorang Indo bernama Petronella Kessler.

Johanna juga merupakan teman akrab dari Erna, anak ke 4 dari pernikahan pertama Douwess Dekker. Kisah pertemuan pertama antara Johanna dan Douewess Dekker bermula di Sekolah Ksatrian Instituut Bandung. Meski usia antara Johanna dan Douwess Dekker cukup jauh, tidak merintangi hubungan romantis ke duanya.

Menukil dari buku berjudul “Dr.D.D.Setiabudhi” karangan Drs. Tashadi tahun 1984 bahwa pertemuan pertama Johanna dan Douwess Dekker memberi kesan begitu mendalam di hati Johanna.

“ Pertama saya melihatnya, dalam hati saya berkata,.O...ini orangnya bernama Douwess Dekker itu, yang namanya begitu tersohor. Daya tarik pertama memang tidak ada.  Saya memandangnya hanya sebagai bos saja. Apalagi mengingat saya ini adalah teman karib puteri beliau sendiri yang bernama Erna, yang sebaya usianya dengan saya.

Orangnya memang begitu tampan. Wajahnya tidak memiliki daya tarik, kecuali matanya yang tajam bila menatap. Tapi kalau sedang berbicara, nah….inilah susahnya, benar-benar manarik perhatian setiap orang. Secara diam-diam saya mulai mengagumi orangnya karena kecerdasan otaknya. Pendek kata, saya benar-benar tertarik karena mengagumi kecerdasan otaknya,“ cerita Johanna dalam buku karangan Tashadi tersebut.

Tepat pada hari Rabu, 22 September tahun 1926, dengan mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Tinggi Jakarta, Johanna dan Douwess Dekker melangsungkan pernikahan secara resmi di Kantor Pencatatan Sipil, Bandung. Pernikahan ke duanya antara lain disaksikan oleh adik Douwess Dekker, dan Suryadi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ).

Berdasar penelusuran di Wikipedia, Johanna adalah guru yang banyak membantu kegiatan kesekretariatan Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan Ernest Douwes Dekker di Bandung atas dorongan Suryadi Suryaningrat (yang terlebih dahulu mendirikan Perguruan Taman Siswa). JP Mossel mendapatkan ijazah guru Eropa pada tahun 1924 dan pada tahun 1925 menjadi pengajar  dan asisten administrasi di sekolah MULO Ksatrian Instituut.

Bersama suaminya, Ernest Douwes Dekker, mereka memiliki inisiatif untuk mengembangkan kesadaran pendidikan. Johanna, yang pernah menjadi guru di sekolah MULO Institut Ksatrian, berpendapat sekolahnya itu bukan jawaban yang memuaskan terhadap kebutuhan pendidikan untuk anak-anak pribumi Indonesia. Akhirnya, mereka berdua pada tahun 1932, kemudian mendirikan sekolah bernama Sekolah Menengah Dagang (Nasionaal Handels Collegium). Namun, nama itu membawa malapetaka. Pihak pemerintah Belanda melarang mereka menggunakan nama itu.

Semangat yang tetap menyala membuat mereka tak putus asa, mereka mengganti nama sekolahnya dengan nama Moderne Middlebare Handelsschool (MMHS). Sekolah tersebut mengajarkan jurnalistik, ekonomi, dan pendidikan. Pelajaran sejarah Ekonomi diajarkan di kelas 1 sampai dengan 5. Buku-buku yang digunakan untuk membuat buku penuntun adalah Kolonieen karangan Prof. Schmidt, dalam bahasa Jerman, dan Van Wingewest tot Zelbestuur oleh Stokvis.

Meskipun, dalam merintis sekolahnya itu banyak kendala dan cobaan, seperti pembakaran atau pemusnahan buku-buku yang dilakukan pemerintah Belanda, Johanna tidak patah semangat. Ia justru semakin kuat untuk mendidik para siswanya. Dalam perjalanannya sebagai guru, ia telah mampu memberikan pelayanan pemeriksaan dokter pada siswanya secara gratis, pelajaran formal yang harus ditempuh di sekolah dan fasilitas pengobatannya itu diberikan secara cuma-cuma. Merasa tak cukup, ia dan suaminya memberikan pelajaran ekstrakurikuler pada sore harinya, dan oleh bekas murid-muridnya, guru Johanna dikenang sebagai guru yang rewel dan keras sekali dalam menegakkan disiplin serta sopan santun pada anak didiknya. Ia pun mengajar tanpa imbalan honorarium.

Pada bulan Januari 1941, Ernest Douwess Dekker ditangkap dan ditahan di Ngawi. Meski dalam tahanan, Douwess Dekker tidak melupakan Ksatrian Instituut sehingga pada bulan Februari 1941 Douwess Dekker membuat surat kuasa yang isinya memberikan kekuasaan penuh kepada istrinya, Johanna Petronella Douwess Dekker untuk memelihara kelangsungan Ksatrian Instituut.

Pasangan ini harus berpisah karena Douwes Dekker dibuang ke Paramaribo Suriname pada akhir tahun 1941. Sebelum berpisah, pada Desember 1941, Ernest Douwess Dekker berpesan kepada istrinya agar mencari perlindungan kepada pemuda bernama Djafar dan pada akhirnya Johanna menikah dengan Djafar Kartodiredjo.

Djafar Kartodiredjo juga merupakan seorang Indo (sebelumnya dikenal sebagai Arthur Kolmus) dan menjadi pengajar di  Ksatrian Instituut. Pernikahan keduanya terjadi setelah Pengadilan Negeri Yogyakarta pada bulan Juni 1947 mengabulkan perceraian antara Ernest Douwess Dekker dengan Johanna dan sampai akhir hayatnya mereka berdua tinggal di kawasan Kotabaru Yogyakarta.

Atas dedikasi dan jasanya di bidang pendidikan maka di sekitar makam JP Mossel dibuat prasasti sebagai penghargaan dari pemerintah ( Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIY ). Tak jauh dari makam JP Mossel, ada makam suaminya, Djafar Kartodiredjo dan anak-anaknya.

Menurut penuturan dari Kartini, salah seorang petugas kebersihan makam Utoro Loyo, dulu makam JP Mossel sering dikunjungi oleh peziarah. Umumnya mereka berasal dari kedinasan.

“ Dulu makam Ibu JP Mossel banyak dikunjungi peziarah, terutama dari ibu-ibu dari dinas pendidikan. Namun, saat ini sudah lama sekali tidak ada yang ziarah ke makam Ibu (JP Mossel). Ndak tahu kenapa, mungkin wes podo lali,mas..,” cerita Kartini dengan tatapan yang sedih. Dirinya berharap ke depannya, karena JP Mossel termasuk tokoh nasional  di bidang Pendidikan, tetap ada dan banyak yang berziarah di saat momen-momen tertentu.